chairuddin nursiati
Sejarah
Boedi Oetomo,
merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian
modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908
oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini
merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari
primordialisme Jawa yang ditampilkannya.
Pada
konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan
perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan
memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri,
serta kebudayaan.
Dalam
5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak
maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai
kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909
telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.
Disamping
itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad
Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di
Rotterdam
mendirikan Indische Vereeninging yang
kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan
dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi
politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas
nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru
menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.
Berdirinya
Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische
Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam,
dan Muhammadiyah
yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische
Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme,
menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu
sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat
melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh
karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit
keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU.
Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga
akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Kehadiran
Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode
sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum
terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah
Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran
kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh
kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan
pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan
kolonialisme.
Pada
pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische
Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah
air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan
melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang
dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat
itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia
(Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober
1924 oleh Soetomo.
Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club)
direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di
Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Diinspirasi
oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan
Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang
menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun
1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik,
Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten
Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Dari
kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah,
munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda
pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda
II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.
Dalam
perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan
kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda
yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik,
terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi
Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia
(PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia
(PNI).
Secara
umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang
jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan
melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini
ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa,
termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran
Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis,
akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih
untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para
pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam
sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng
Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi
cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah
satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok
bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni
saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar
secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.
Sejak
kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa,
diantaranya Perserikatan
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui
Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya,
dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem
kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan
merupakan organisasi dibawah partai-partai politik. Misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan
Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan
Masyumi, dan lain-lain.
Diantara
organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil
sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. CGMI secara berani
menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan
lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan perseteruan
sengit antara CGMI dengan HMI, terutama dipicu karena banyaknya jabatan
kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya
setelah Konggres V tahun 1961.
Mahasiswa
membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang
merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh
Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb,
yakni HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama
Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan
Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis
mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi
dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya
KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia
(KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana
Indonesia (KASI), dan lain-lain.
Pada
tahun 1965
dan 1966,
pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut
mendirikan Orde Baru.
Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan
gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan
mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah
mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Akbar Tanjung,
Cosmas
Batubara Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, dll. Angkatan '66
mengangkat isu Komunis
sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan
masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis
Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun
mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat
dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. di masa ini ada salah satu tokoh yang
sangat idealis,yang sampai sekarang menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa
yang idealis setelah masanya,dia adalah seorang aktivis yang tidak peduli mau
dimusuhi atau didekati yang penting pandangan idealisnya tercurahkan untuk
bangsa ini,dia adealah soe hok gie
Realitas
berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika
generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk
generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum
gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an,
sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi
terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
- Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
- Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Diawali
dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes
lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan
pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan
"Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah
aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Menyusul
aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa
kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang
diketuai oleh Wilopo.
Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa
terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai
borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus
mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai
cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status
quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain
melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang
mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul
berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun
mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa
aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang
munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei
1971 yang dimotori oleh
Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara
Nababan.
Dalam
tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap
pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang
dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat
Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes
terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973
selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi
memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan
peristiwa
Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di
Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai salah satu tuntutan
"Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten
Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah
versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut
dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
Setelah
peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes
mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus
disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja
sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa
baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Menjelang
dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul
kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan
politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan
kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif,
pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat
pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan
ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya,
pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada
tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di
berbagai perguruan tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh
mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus
karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain
adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam
melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing
keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka
diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh
dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK
di seluruh Indonesia.
Soeharto
terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan
hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan
sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan
sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
Setelah
gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan
mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi
Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah
secara paksa.
Kebijakan
NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba
mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan
dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi
rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib
Soedomo
melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah
membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri
P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga
Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan
penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang
pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan
Tinggi.
Kebijakan
BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan
Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat
fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas
(BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang
kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan
mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan,
pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan
konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra
kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi
lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa,
karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik
tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi
rezim semakin kuat.
Sebagai
alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di
awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin
tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi
kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain
ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk
menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif
di Organisasi kemahasiswaan ekstra
kampus seperti HMI
(himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia), PMKRI
(Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka
juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa
kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus
tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring,
korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
Memasuki
awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan
sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui
PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui
adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari
Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan
mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK
tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah
kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan
mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak
lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong
kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam
perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi
karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri,
bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga,
tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994
yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai
landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang
independen.
Dengan
dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis
serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan
mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan
kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
Gerakan
yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan
kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga akhirnya
demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu
demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch
ke DPR/DPRD tetap terlarang.
Gerakan
1998 menuntut reformasi
dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan
mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto
melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis
mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi
Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi
Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.